
Seminar Hasil Penelitian Disertasi mahasiswa Program Studi S3 Hukum Islam atas nama Sufrinas (NIM 2220100004) diselenggarakan dengan mengangkat judul: “Konstruksi Hukum Atas Perlindungan Anak Piatu dalam Budaya Minangkabau.”
Tujuan penelitian untuk mengkaji praktik perlindungan atau pemeliharaan anak piatu dalam konteks budaya Minangkabau, mengeksplorasi nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, serta menganalisis dampak yang ditimbulkan dari praktik tersebut. Selain itu, penelitian beliau juga diarahkan untuk merumuskan konstruksi hukum yang relevan dan kontekstual terhadap perlindungan anak piatu, khususnya dalam lingkungan budaya masyarakat Minangkabau.
Secara normatif, Islam tidak membedakan secara khusus antara anak yatim dan anak piatu, karena keduanya masuk dalam kategori anak yang kehilangan pelindung utama dan berhak atas perlindungan serta perhatian, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an seperti QS. Al-Insan [76]: 8 dan QS. Al-Baqarah [2]: 220. Namun, dalam masyarakat Minangkabau, terdapat pembedaan yang cukup tajam antara anak yatim (kehilangan ayah) dan anak piatu (kehilangan ibu), yang berdampak pada perlakuan sosial yang tidak setara. Anak piatu cenderung terabaikan, padahal secara emosional dan sosial mereka menanggung beban yang sama, bahkan bisa lebih berat. Penelitian ini menemukan bahwa persepsi masyarakat Minangkabau masih sangat dipengaruhi oleh definisi yatim menurut Mahmud Yunus, yaitu anak yang kehilangan ayah sebelum baligh. Definisi ini, meskipun merujuk pada pemahaman klasik, menjadi terlalu sempit jika dibandingkan dengan pendekatan ulama seperti Imam al-Qurtubi dan Wahbah az-Zuhaili yang memandang yatim sebagai anak yang kehilangan pelindung atau penanggung jawab utama. Dalam perspektif maqasid al-shariah, semangat perlindungan terhadap anak yang lemah dan rentan semestinya mencakup juga anak piatu dan yatim piatu, sehingga penggunaan definisi yang terlalu kaku justru berisiko mengecualikan kelompok anak yang sama-sama membutuhkan perhatian dan perlindungan, baik secara sosial maupun hukum.

Seminar ini menyoroti beberapa poin krusial yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kajian. Pertama, perlu penjelasan yang lebih mendalam mengenai konsep “piatu”, terutama perbedaan maknanya dengan istilah “yatim” dalam konteks hukum Islam dan tradisi budaya Minangkabau. Pemahaman konseptual ini penting untuk menghindari kekeliruan tafsir dan implikasi hukum. Kedua, istilah “konstruksi hukum” harus dibedakan secara jelas dari metode rechtsvinding. Penulis perlu menguraikan unsur-unsur budaya apa saja yang menjadi dasar dalam proses konstruksi hukum tersebut agar lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Ketiga, penyajian ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis yang menjadi rujukan utama sebaiknya ditampilkan secara utuh, termasuk teks Arab beserta terjemahannya, bukan hanya mencantumkan nomor surah atau hadis. Hal ini akan memperkuat argumentasi dan validitas sumber hukum yang digunakan. Keempat, perlu dikritisi pandangan masyarakat yang selama ini cenderung memusatkan tanggung jawab pengasuhan anak pada pihak ibu saja. Padahal, keluarga dari pihak ayah juga memiliki kewajiban, apalagi bila pihak ibu memiliki keterbatasan ekonomi.
Para penguji juga menekankan pentingnya pendekatan maqasid al-shariah dalam merumuskan konstruksi hukum yang lebih berpihak pada perlindungan anak. Dalam hal ini, konsep hadhanah dan prinsip keadilan dalam pembagian tanggung jawab pengasuhan harus menjadi landasan utama. Disarankan pula agar penulis memperluas jangkauan wawancara dengan melibatkan lebih banyak ahli adat dan budaya Minangkabau guna menggali pandangan lokal terkait kedudukan serta perlakuan terhadap anak piatu.