
Rabu, 04 Juni 2025 Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang mengukuhkan 10 guru besar baru,bertempat di Gedung J, Kampus lll UIN Imam Bonjol Padang .Dalam Sambutannya Rektor UIN Imam Bonjol Prof. Dr. Martin Kustati, M.Pd menyampaikan penting nya mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan di kampus. “Saya mengajak para guru besar untuk terus produktif mengembangkan ilmu pengetahuan, membimbing para mahasiswa dan dosen, serta memberikan kontribusi positif untuk pengembangan UIN Imam Bonjol Padang,” kata Rektor UIN Imam Bonjol Padang.
Rektor, mengucapkan pengukuhan guru besar ini dapat meningkatkan reputasi dan akreditasi UIN Imam Bonjol Padang, serta membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan bangsa. “Dengan bertambahnya guru besar, UIN Imam Bonjol Padang semakin siap untuk menjadi perguruan tinggi yang memiliki keunggulan dan diperhitungkan di tataran nasional, regional, dan global,” tuturnya.
Para guru besar yang dikukuhkan adalah:
1. Prof. Dr. Yasrul Huda, MA.
2. Prof. Dr. Elfia, M.Ag
3. Prof. Dr. Efrinaldi, M.Ag
4. Prof. Dr. Abrar, M.Ag
5. Prof. Dr. Zainal Azwar, M.Ag
6. Prof. Ahmad Wira, M.Ag. M.Si., Ph.D.
7. Prof. Dra. Hulwati, M.Hum., Ph.D.
8. Prof. Dr. Rozalinda, M.Ag
9. Prof. Dr. Yasmadi, M.Ag
10. Prof. Dr. Andri Ashadi, M.Ag

Salah Satu Orasi Guru Besar yang dilantik Prof. Dr. Elfia , M.Ag yang juga Kaprodi S2. Hukum Keluarga dan Kaprodi S3. Hukum Islam, tentang” Rumah Gadang sebagai simbol kultural dalam peradaban Minangkabau”. Isinya :
Di tengah hiruk-pikuk modernisasi yang tak terbendung, sebuah suara lantang dari ranah Minangkabau menggema, mengajak kita menelisik kembali makna terdalam dari waris dan pusaka. Adalah Elfia, dengan sorot mata tajam dan pemikiran jernih, yang dalam pidato pengukuhan guru besarnya berjudul “Warih Bajawek Pusako Batolong: Worldview Orang Minangkabau Membangun Ketahanan Sosial dan Budaya”, membedah secara gamblang pergeseran konsep waris di tengah masyarakat Minangkabau.
Seolah menari di antara kearifan lokal dan tuntutan zaman, Elfia tak sekadar memaparkan fenomena, namun juga menawarkan sebuah lensa baru: pendekatan Maqasid Institusional. Sebuah pendekatan yang melampaui sebatas legalitas formal, menjangkau ruh dan tujuan hakiki di balik setiap pranata adat. Ia menantang kita untuk merenung: Ketika tradisi berhadapan dengan dinamika sosial, bagaimana nilai-nilai luhur Minangkabau mampu tetap teguh, bahkan beradaptasi, demi membangun ketahanan sosial dan budaya yang tak lekang oleh waktu? Inilah sebuah perbincangan krusial, yang tak hanya relevan bagi Minangkabau, namun juga bagi kita semua, dalam memahami bagaimana sebuah peradaban bernegosiasi dengan perubahan.